Kaki Kecil di Kota Besar

8:59 PM UTARINI CANDRAKIRANA 0 Comments


Aku tak tahu kemana arah berjalan. Sejauh mata memandang yang kulihat hanya gedung-gedung pencakar langit yang tingginya seakan bisa membawaku ke bulan. Sepanjang perjalanan, mungkin orang-orang tak menyadari keberadaanku. Bahkan aku tak yakin apa mereka betul orang atau robot yang dikendalikan oleh remote persegi panjang di genggaman mereka. Mata mereka terpaku menatap remote tersebut. Tak bersapa, tak bercakap, tanpa ekspresi. ‘Krrrrukkkk’. Ah, perutku berbunyi lagi. Sudah ke lima kalinya hari ini ku hitung ia berbunyi. Teringat saat terakhir aku menyantap hidangan lezat di rumah. Aku Rindu Rumah. Aku melanjutkan langkah tanpa menghiraukan suara berisik cacing kelaparan di perutku.

Teriknya sinar matahari membuatku lelah berjalan. Ku sandarkan badanku di tiang halte, sambil sedikit membersihkan diri sampai akhirnya aku termenung menatap langkah kaki para robotbeberapa orang yang terlihat goyah. Mungkin mereka juga lelah. Banyak dari meraka yang memerhatikanku, namun tak ada satupun yang nampak peduli dengan keberadaanku. Andai mereka mengerti apa yang ku ucapkan, seperti Ibu Angkatku di rumah, mungkin aku sudah diantar pulang dan bertemu dengan keluargaku. Seketika aku menyesali perbuatan bodohku yang meninggalkan rumah. Aku sungguh egois, tak mendengar apa yang keluargaku katakan tentang dunia luar. Aku baru paham, betapa menyiksanya hidup sendiri di tengah kota yang penuh dengan robot tak berperasaan ini. Tak ada satupun yang bisa ku ajak bicara, apalagi bercengkrama seperti keluargaku. Mereka semua tampak asing dan dingin.

Nasi sudah menjadi bubur, menyesalinya saat ini sudah benar terlambat. Perutku tak henti mengeluarkan suara, aku sangat lapar. Seperti Tuhan mendengar keluhku, seorang wanita berjalan menuju halte sambil membawa plastik penuh berisi roti. Ya aku tahu plastik roti itu. Ibu angkatku sering memberiku sedikit bagian dari roti pizza kesukaannya. Air liurku tak terbendung. Seakan bersatu dengan jeritan cacing di perutku. Ku perhatikan gerak wanita itu hingga ia duduk. Ia letakkan plastik roti disampingnya. Lalu dengan cepat, aku berdiri dari dudukku dan mencoba mendekati wanita itu. Tuhan, betapa lezatnya aroma roti yang tercium dari jarak aku berdiri ini (kurang lebih 1 meter). Aku bisa mencium roti pizza yang menjadi favorit ibu angkatku. Memang roti itu sangat lezat, tak heran ia sangat menyukainya. Aku berusaha mencapai jarak terdekat dari wanita itu, hingga tepat di depannya ku berdiri.

“Boleh aku minta sedikit rotimu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Wanita itu tidak mengacuhkanku. 

Mungkin suara bising dari bis berwarna merah dengan list biru yang usang itu memendam suaraku hingga ia tak mendengarnya. Ku ulang lagi dengan pertanyaan yang sama dan agak sedikit keras, “Boleh aku minta sedikit rotimu?” Wanita itu memalingkan wajahnya dari layar ponsel, dan menatapku. Tatapan begitu sinis hingga sempat membuat nyaliku ciut. Namun aku sangat lapar, tak ku pedulikan tatapan itu. Aku menunggu, tapi ternyata wanita itu kembali sibuk dengan ponselnya. Untuk yang terakhir kalinya aku meminta di hadapan dia dengan sedikit lirih berharap wanita itu iba, “Boleh aku minta sedikit rotimu? Aku sangat lapar, aku belum makan hari ini. Sedikit saja, tolong-“ Tak sempat ku selesaikan ucapanku, tiba-tiba ia berdiri dan menendangku, “Pergi sana! Menjauhlah dariku! Aku sangat jijik dengan makhluk sepertimu!”Aku tersontak kaget mendengar ucapan wanita itu, tak pernah dalam hidupku mendengar perkataan yang begitu menyakitkan. Andai aku bisa menangis, sedari tadi mungkin pipiku sudah basah dengan air mata. 

Hingga gelap menghampiri, belum juga perutku terisi. Ku perhatikan sekeliling, kota ini nampak tak pernah mati, kendaraan masih berlalu lalang memadati jalan protokol. Aku melihat sebuah kolam berbentuk lingkaran yang sangat besar di sebrang tempatku berdiri. Aku sedikit banyak mengenal tempat ini. Ah iya benar! Ibu angkatku sering membawaku ke tempat ini setiap minggu pagi. Tempat ini berbeda sekali ketika malam. Aku ingin ke kolam itu! Kali saja aku bisa mendapat seteguk air darinya, sekedar untuk melepas dahaga. Namun untuk sampai ke sana aku harus melewati kendaraan yang melaju di jalan dan aku tidak pandai menyebrang. Dalam hati ku bergumam, bagaimana jika nanti aku malah tertabrak? Tapi sepertinya rasa hausku mampu melawan kekhawatiranku. Tekadku sudah bulat, aku akan ke kolam itu.

Aku melangkah dengan mantap, mengurung rasa khawatirku akan mesin berukuran besar yang berlalu lalang. Beberapa langkah terasa ringan, tak ada hambatan. Sampai tetiba aku mendengar suara klakson beberapa mobil yang memekakkan telinga. Nyaliku menciut, aku panik. Aku sudah berada di tengah jalan menuju kolam itu. Dengan linglung tanpa menoleh kanan kiri, aku mempercepat langkah. Suara klakson dari kendaran yang ku lewati semakin membuat jantungku berdebar. Aku mendengar beberapa orang pun teriak, “Awas ada kucing menyebrang!!!”

NYIIIIIIIIT BRUKKKK! 

Seketika badanku terkujur di dinginnya aspal ibu kota. Hantaman roda yang berputar begitu keras menerjang tubuhku. Aku bisa merasakan nyeri yang sangat hebat di perut dan dadaku. Bukan rasa lapar lagi yang terasa, melainkan karena tulang rusukku yang remuk. Sesaat ku tersadar, aku melihat dari celah orang-orang yang mengerumuniku, bahwa beberapa langkah lagi aku sampai di kolam itu. 

“Astaga, Molly….!!!!!!!!!” 
Samar-samar aku mendengar suara yang begitu familiar memanggil namaku. Ya, itu suara Penny, Ibu Angkatku. Aku tak kuasa menahan kesedihan, ternyata Tuhan masih mengizinkanku bertemu Penny sebelum aku benar-benar pergi. Penny melihat kalung yang terpasang di leherku untuk memastikan. Tertulis namaku dan alamat rumah Penny di bandulannya. Penny mengelusku lembut, seakan mengerti aku sedang sangat kesakitan. 

“Molly, maafkan aku! Seharusnya aku tidak lalai dan membiarkan jendela rumah terbuka seharian. Molly…. Hiks” Penny tidak bisa menahan air matanya.

Bahkan ia tak peduli dengan kemacetan yang bertambah parah atas kejadian ini. Dalam hati sebenarnya aku mengutuk perbuatanku sendiri, ini bukan salah Penny. Akupun menjawab Penny, “Meooooong” yang berarti 

‘Tak apa Penny, ini bukan salahmu. Tolong jangan menangis’ 

Entah mengapa Penny selalu mengerti apa yang ku katakana, ia berhenti menangis, begitu juga dengan nafasku. Aku melihat cahaya begitu terang seperti menjemputku. Seketika rasa sakit ku hilang, namun aku bisa melihat Penny perlahan membungkus tubuhku dengan syal yang ia kenakan. Selamat tinggal Penny, selamat tinggal untuk selamanya. Terima kasih telah merawatku sejak aku masih kucing kecil.





You Might Also Like

0 comments: