Kaki Kecil di Kota Besar
Aku tak tahu kemana arah berjalan. Sejauh mata memandang yang kulihat hanya gedung-gedung
pencakar langit yang tingginya seakan bisa membawaku ke bulan. Sepanjang
perjalanan, mungkin orang-orang tak menyadari keberadaanku. Bahkan aku tak yakin apa
mereka betul orang atau robot yang dikendalikan oleh remote persegi panjang di genggaman
mereka. Mata mereka terpaku menatap remote tersebut. Tak bersapa, tak bercakap, tanpa
ekspresi. ‘Krrrrukkkk’. Ah, perutku berbunyi lagi. Sudah ke lima kalinya hari ini ku hitung ia
berbunyi. Teringat saat terakhir aku menyantap hidangan lezat di rumah. Aku Rindu Rumah.
Aku melanjutkan langkah tanpa menghiraukan suara berisik cacing kelaparan di perutku.
Teriknya sinar matahari membuatku lelah berjalan. Ku sandarkan badanku di tiang halte, sambil
sedikit membersihkan diri sampai akhirnya aku termenung menatap langkah kaki para robotbeberapa
orang yang terlihat goyah. Mungkin mereka juga lelah. Banyak dari meraka yang
memerhatikanku, namun tak ada satupun yang nampak peduli dengan keberadaanku. Andai
mereka mengerti apa yang ku ucapkan, seperti Ibu Angkatku di rumah, mungkin aku sudah
diantar pulang dan bertemu dengan keluargaku. Seketika aku menyesali perbuatan bodohku
yang meninggalkan rumah. Aku sungguh egois, tak mendengar apa yang keluargaku katakan
tentang dunia luar. Aku baru paham, betapa menyiksanya hidup sendiri di tengah kota yang
penuh dengan robot tak berperasaan ini. Tak ada satupun yang bisa ku ajak bicara, apalagi
bercengkrama seperti keluargaku. Mereka semua tampak asing dan dingin.
Nasi sudah menjadi bubur, menyesalinya saat ini sudah benar terlambat. Perutku tak henti
mengeluarkan suara, aku sangat lapar. Seperti Tuhan mendengar keluhku, seorang wanita
berjalan menuju halte sambil membawa plastik penuh berisi roti. Ya aku tahu plastik roti itu.
Ibu angkatku sering memberiku sedikit bagian dari roti pizza kesukaannya. Air liurku tak
terbendung. Seakan bersatu dengan jeritan cacing di perutku. Ku perhatikan gerak wanita itu
hingga ia duduk. Ia letakkan plastik roti disampingnya. Lalu dengan cepat, aku berdiri dari
dudukku dan mencoba mendekati wanita itu. Tuhan, betapa lezatnya aroma roti yang tercium
dari jarak aku berdiri ini (kurang lebih 1 meter). Aku bisa mencium roti pizza yang menjadi
favorit ibu angkatku. Memang roti itu sangat lezat, tak heran ia sangat menyukainya. Aku
berusaha mencapai jarak terdekat dari wanita itu, hingga tepat di depannya ku berdiri.
“Boleh aku minta sedikit rotimu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Wanita itu tidak
mengacuhkanku.
Mungkin suara bising dari bis berwarna merah dengan list biru yang usang itu
memendam suaraku hingga ia tak mendengarnya. Ku ulang lagi dengan pertanyaan yang sama
dan agak sedikit keras, “Boleh aku minta sedikit rotimu?” Wanita itu memalingkan wajahnya
dari layar ponsel, dan menatapku. Tatapan begitu sinis hingga sempat membuat nyaliku ciut.
Namun aku sangat lapar, tak ku pedulikan tatapan itu. Aku menunggu, tapi ternyata wanita itu
kembali sibuk dengan ponselnya. Untuk yang terakhir kalinya aku meminta di hadapan dia
dengan sedikit lirih berharap wanita itu iba, “Boleh aku minta sedikit rotimu? Aku sangat lapar,
aku belum makan hari ini. Sedikit saja, tolong-“ Tak sempat ku selesaikan ucapanku, tiba-tiba ia
berdiri dan menendangku, “Pergi sana! Menjauhlah dariku! Aku sangat jijik dengan makhluk
sepertimu!”Aku tersontak kaget mendengar ucapan wanita itu, tak pernah dalam hidupku
mendengar perkataan yang begitu menyakitkan. Andai aku bisa menangis, sedari tadi mungkin
pipiku sudah basah dengan air mata.
Hingga gelap menghampiri, belum juga perutku terisi. Ku perhatikan sekeliling, kota ini nampak
tak pernah mati, kendaraan masih berlalu lalang memadati jalan protokol. Aku melihat sebuah
kolam berbentuk lingkaran yang sangat besar di sebrang tempatku berdiri. Aku sedikit banyak
mengenal tempat ini. Ah iya benar! Ibu angkatku sering membawaku ke tempat ini setiap
minggu pagi. Tempat ini berbeda sekali ketika malam. Aku ingin ke kolam itu! Kali saja aku bisa
mendapat seteguk air darinya, sekedar untuk melepas dahaga. Namun untuk sampai ke sana
aku harus melewati kendaraan yang melaju di jalan dan aku tidak pandai menyebrang. Dalam
hati ku bergumam, bagaimana jika nanti aku malah tertabrak? Tapi sepertinya rasa hausku
mampu melawan kekhawatiranku. Tekadku sudah bulat, aku akan ke kolam itu.
Aku melangkah dengan mantap, mengurung rasa khawatirku akan mesin berukuran besar yang
berlalu lalang. Beberapa langkah terasa ringan, tak ada hambatan. Sampai tetiba aku
mendengar suara klakson beberapa mobil yang memekakkan telinga. Nyaliku menciut, aku
panik. Aku sudah berada di tengah jalan menuju kolam itu. Dengan linglung tanpa menoleh
kanan kiri, aku mempercepat langkah. Suara klakson dari kendaran yang ku lewati semakin
membuat jantungku berdebar. Aku mendengar beberapa orang pun teriak, “Awas ada kucing
menyebrang!!!”
NYIIIIIIIIT BRUKKKK!
Seketika badanku terkujur di dinginnya aspal ibu kota.
Hantaman roda yang berputar begitu keras menerjang tubuhku. Aku bisa merasakan nyeri yang
sangat hebat di perut dan dadaku. Bukan rasa lapar lagi yang terasa, melainkan karena tulang
rusukku yang remuk. Sesaat ku tersadar, aku melihat dari celah orang-orang yang
mengerumuniku, bahwa beberapa langkah lagi aku sampai di kolam itu.
“Astaga, Molly….!!!!!!!!!”
Samar-samar aku mendengar suara yang begitu familiar memanggil
namaku. Ya, itu suara Penny, Ibu Angkatku. Aku tak kuasa menahan kesedihan, ternyata Tuhan
masih mengizinkanku bertemu Penny sebelum aku benar-benar pergi. Penny melihat kalung
yang terpasang di leherku untuk memastikan. Tertulis namaku dan alamat rumah Penny di
bandulannya. Penny mengelusku lembut, seakan mengerti aku sedang sangat kesakitan.
“Molly, maafkan aku! Seharusnya aku tidak lalai dan membiarkan jendela rumah terbuka
seharian. Molly…. Hiks” Penny tidak bisa menahan air matanya.
Bahkan ia tak peduli dengan
kemacetan yang bertambah parah atas kejadian ini. Dalam hati sebenarnya aku mengutuk
perbuatanku sendiri, ini bukan salah Penny. Akupun menjawab Penny, “Meooooong” yang
berarti
‘Tak apa Penny, ini bukan salahmu. Tolong jangan menangis’